Sebuah Pagoda Perdamaian adalah stupa Buddha dirancang untuk memberikan fokus kepada orang dari segala ras dan kepercayaan, dan membantu menyatukan mereka dalam pencarian mereka untuk perdamaian dunia. Sebagian besar (meskipun tidak semua) telah dibangun di bawah bimbingan Nichidatsu Fujii (1885-1985), seorang pendeta Buddha dari Jepang dan pendiri Orde Buddhis Nipponzan-Myōhōji. Fujii yang sangat terinspirasi oleh pertemuannya dengan Mahatma Gandhi tahun 1931 dan memutuskan untuk mengabdikan hidupnya untuk mempromosikan non-kekerasan. Pada tahun 1947, ia mulai membangun Pagodas Perdamaian sebagai tempat suci untuk perdamaian Dunia [1].
Para Pagodas Perdamaian pertama dibangun sebagai simbol perdamaian di kota-kota Jepang Hiroshima dan Nagasaki di mana bom atom merenggut nyawa lebih dari 150.000 orang, hampir semua dari mereka adalah warga sipil, pada akhir Perang Dunia II. Pada tahun 2000, delapan puluh Pagodas Perdamaian telah dibangun di seluruh dunia di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat.
Para Pagodas Perdamaian pertama dibangun sebagai simbol perdamaian di kota-kota Jepang Hiroshima dan Nagasaki di mana bom atom merenggut nyawa lebih dari 150.000 orang, hampir semua dari mereka adalah warga sipil, pada akhir Perang Dunia II. Pada tahun 2000, delapan puluh Pagodas Perdamaian telah dibangun di seluruh dunia di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat.
Rajgir, India
Sapporo, Japan
Vienna, Austria
Dhamma Talaka, Birmingham
The Peace Pagoda in Willen, Milton Keynes
Peace Pagoda in London
Peace Pagoda in Japan Center, San Francisco
The New England Peace Pagoda in Leverett, Massachusetts
Peace Pagoda, Grafton, New York
Jadi ingat film favorit semasa kecil "Kera Sakti Sun Go Kong". Yang menceritakan perjalanan Hsuan-tsang dengan ketiga muridnya yaitu Sun Go Kong, Chu Pa-chieh, dan Sha Ho-shang. Legenda ini merupakan gambaran kisah perjalanan Hsuan-tsang dengan
berbagai kesulitan dari seorang manusia yang selalu diliputi oleh
berbagai keinginan dan keserakahan (diwakili oleh Chu Pa-chieh),
kebodohan batin yang merupakan refleksi karakter manusia yang lemah dan
selalu membutuhkan dorongan semangat (diwakili oleh Sha Ho-shang),
kesombongan, keegoisan dan pikiran yang liar (diwakili oleh Sun Go
Kong). Dia adalah kera nakal yang tak pernah diam. Selalu bergerak ke
sana dan ke sini dengan begitu cepatnya. Kalau sudah tidak bisa
dikendalikan oleh biksu Tong (Hsuan-tsang), maka akan diperingati
terlebih dahulu, tapi kalau masih nakal maka akan dibacakan mantra
pemberian Avalokitesvara Bodhisattva.
Sedangkan biksu Tong sendiri menggambarkan suatu kesadaran bahwa setiap
tindakan akan ada akibatnya. Tidak kalah pentingnya adalah jubah yang
dikenakan oleh biksu Tong, merupakan suatu simbol perlindungan kesucian
dari sifat dasar manusia. Jubah ini dikisahkan banyak memberikan
perlindungan kepada biksu itu dari segala gangguan siluman yang mencoba
membinasakannya ataupun menggodanya. Sedangkan Pai-Ma (kuda putih)
hanyalah merupakan pelengkap cerita saja dan tidak mewakili apa-apa. Selama perjalanan mereka banyak sekali menemukan hambatan dari berbagai arah.
Di dalam cerita perjalanan menuju ke Barat untuk mencari kitab Buddha di
bawah lindungan oleh para dewa di langit ini, tidak sulit ditemukan
bahwa masalah langit dan bumi mempunyai urutannya. Dewa pada tingkat
yang tinggi mengurus Dewa tingkatan rendah dan Dewa tingkatan rendah
mengurus dunia manusia. Siapa yang telah merusak urutan ini, akan
menerima hukumannya. Sun Go Kong menganggap dirinya paling hebat, dan
mengangkat dirinya sendiri sebagai dewa tertinggi, kemudian membuat
keributan di istana langit. Prajurit dari langit juga tidak bisa berbuat
apa-apa terhadapnya. Namun di hadapan Buddha, kecilnya bagaikan sebutir
kelereng yang tinggal disentil dan meskipun mengeluarkan seluruh
kemampuannya juga tidak akan bisa melepaskan diri dari telapak tangan
Buddha. Setelah dibebaskan oleh biksu Tong, ia mengikuti perjalanan ke
Barat mencari kitab suci sekaligus menebus karmanya.
Sumber :
http://en.wikipedia.org
http://dhammacitta.org
http://dhammacitta.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar